Tak Seperti Venezuela, Ini yang Bisa Dilakukan Investor di Indonesia?
Negara Venezuela telah mengalami krisis
berkepanjangan. Ditambah lagi, sanksi yang diberikan oleh Pemerintah Amerika
Serikat (AS) kepada negara tersebut, ibarat sudah jatuh ketimpa tangga itulah
yang dialami Venezuela saat ini. Padahal, Venezuela ini merupakan cadangan
minyak terbesar di dunia setelah Uni Emirat Arab (UEA) dengan memiliki
kapasitas 330 miliar per barel. Negara tersebut sangat berpangku sekali
terhadap penghasilan dari minyak.
Namun, sejak anjloknya harga minyak pada 2014,
membuat negara sebutan “The Land of Grace” ini terpuruk. Mata uang mereka
bolivar saja seakan tidak berharga di sana. Bahkan, untuk membeli suatu barang
saja harus dilakukan barter (pertukaran). Misalnya, membeli ikan harus ditukar
dengan dua karung beras. Inflasi di sanapun kini mencapai 10 juta persen.
Bersyukurlah Indonesia, pemerintah terus berupaya
menjaga kestabilan inflasi di bawah 3,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB). Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), tingkat inflasi April 2019,
sebesar 2,83 persen. Perekonomian Indonesia pun masih tumbuh stabil di atas 5
persen terhadap PDB.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) terus menjaga nilai
tukar rupiah agar tetap stabil. Pada tahun lalu, pemerintah telah menetapkan
asumsi kurs rupiah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019,
dilevel Rp15.000 per dolar AS. Dan kini pergerakan rupiah di pasar spot rentang
Rp14.300-14.400 per dolar AS.
Kondisi perekonomian ini sangat menentukan sekali
aksi para investor di pasar Bursa Efek Indonesia (BEI). Sehingga, ketika para
investor nantinya tidak akan terjebak dan merugi begitu dalam. Sebab, ada hasil
survei menunjukkan sekitar 10 persen segelintir orang berhasil sukses, dan
sisanya gagal termasuk dalam berinvestasi.
Untuk menjadi orang yang berada diangka 10 persen tersebut,
maka para investor atau trader harus
memahami terlebih dahulu siklus perekonomiannya agar tidak salah dalam
mengambil langkah ketika bertransaksi jual dan beli di pasar saham.
Kenali
siklusnya dan langkah investor menghadapi situasi tersebut?
Biasanya pertumbuhan PDB menjadi positif, tingkat
inflasi moderat, pasar saham menunjukkan harga saham jatuh atau anjlok drastis
seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2008, tepatnya dibulan Oktober dan
September 2013. Secara teknikal ada pola bullish
reversal (pembalikan arah saham jadi naik).
Pada masa ini, bisnis sulit berkembang, pengangguran
semakin banyak, PDB rendah, suku bunga perbankan pun ikutan jatuh. Banyak
pemberitaan negatif terhadap perekonomian membuat perusahaan (emiten) resah.
Kemudian, para emiten mulai membanting harga sahamnya alias diskon. Begitu pula
pada tahun 1998, saat Indonesia alami krisis moneter, menurut saya momen inilah
investor berkesempatan membeli saham sebanyak-banyaknya.
Pasalnya, harga-harga saham banyak didiskon sampai
harga murah. Termasuk perusahaan-perusahaan besar (blue chips). Jadi, investor tidak perlu panik dan bingung. Ketika
nanti kondisi perekonomian negara sudah memulih maka harga saham yang dibeli
tersebut dipastikan bakal “cuan” lagi.
Dalam 10 tahun ke depan, diprediksikan imbal hasil (yield) saham bisa mencapai 7,954 persen
dengan real interest rate (selisih dari nominal interest rate dengan inflasi) 6,5 persen. Melihat kondisi market saham yang mulai
pulih saat ini, bisa jadi kesempatan bagi para investor atau trader yang ingin berinvestasi jangka
panjang dan ambil langkah mencicil beli saham.
Kondisi saat ini ketika berinvestasi, sebaiknya
pilihlah saham yang bergerak di sektor perbankan, konsumer, ritel, serta
infrastruktur yang selama 4,5 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
terus dikembangkan. Bingung memilih saham untuk diinvestasikan, ada lima
rekomendasi yang saya anjurkan, antara lain:
- PT
Unilever Indonesia Tbk (UNVR);
- PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI);
- PT
Bank Central Asia Tbk (BBCA);
- PT
Gudang Garam Tbk (GGRM); dan
- PT
Indofood Tbk (INDF).