IHSG TERTULAR KOREKSI WALL STREET, BAGAIMANA NASIB IHSG SELANJUTNYA?
Baru saja dibuka, IHSG pada pagi hari ini sempat langsung anjlok hingga lebih dari 2%. Kira-kira apa penyebab kejatuhan IHSG hari ini? Apakah penurunan ini akan terus berlanjut?
DITERPA BADAI, IHSG TERJUN BEBAS
Setelah beberapa hari menguat, IHSG pagi hari ini mengalami kejatuhan yang cukup signifikan. Ada 2 hal utama yang menyebabkan kejatuhan IHSG pada pagi hari ini, yaitu:
1.Level Surat Obligasi Menanjak
Dow Jones pada perdagangan rabu kemarin dilanda aksi panic selling, yang berujung pada turunnya indeks Dow Jones hingga lebih dari 3% dalam sehari. Salah satu hal yang membuat aksi panic selling ini ialah rilisnya data hasil lelang obligasi tenor 10 tahun Amerika yang melejit hingga 3,225%.
Kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika membuat investor memilih menghidari aset berisiko seperti saham, karena keuntungannya yang cukup besar dan lebih pasti.
Tidak hanya kenaikan obligasi, adanya laporan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun ini dan 2019 juga menyebabkan investor menjadi terpukul atas pernyataan tersebut.
Pasar saham saat ini dilanda sell-off, dengan kekhawatiran sampai seberapa jauh yields akan naik, peringatan dari IMF atas risiko stabilitas dan finsial, serta ketegagangan perang dagang yang memicu ketidakpastian.
Meskipun begitu, teknan pada IHSG hari ini juga lebih disebabkan oleh aksi sell-off saham teknologi, akibat komentar Trump yang meng-kritik The Fed terlalu ketat.
Koreksi pada bursa global ini sendiri kemungkinan masih akan terus berlanjut, hingga hari Kamis nanti, seiring akan dirilisnya data inflasi Amerika yang berpotensi melambat 2,4% YoY dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 2,7% YoY.
2.Pemerintah Batalkan Kenaikan BBM
Jika di global sentimen penekan berasal dari data ekonomi dan kenaikan imbal hasil obligasi US, di Indonesia batalnya kenaikan BBM menjadi pemicu utama aksi sell-off hari ini.
Ada 3 hal yang menjadi penilaian pemerintah, sehingga akhirnya membatalkan kenaikan BBM tersebut.
Pertama, Presiden Jokowi meminta kajian terhadap perubahan harga minyak internasional, termasuk neraca minyak dan gas bumi keseluruhan. Faktor kedua, Jokowi meminta Kementerian Keuangan menganalisis kondisi fiskal dalam menjaga harga BBM. Lalu pertimbangan ketiga adalah Presiden menginginkan daya beli masyarakat terjaga dan menjadi prioritas.
Ketiga alasan tersebut diperlukan agar membantu fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat.
Namun, kenaikan harga BBM itu sendiri sudah sangat dinantikan oleh pelaku pasar. Harga BBM yang terlalu murah sering dituding menjadi biang kerok defisit transaksi berjalan (current account).
Dengan kondisi harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini, semestinya harga jual premium adalah Rp 8.099,2/liter. Berarti ada selisih 23,65% dari harga jual yang sekarang.
Sehingga, wajar saja jika pembatalan kenaikan harga tersebut membuat para investor kecewa dan menyebabkan aksi jual di pasar yang menyebabkan penurunan IHSG hari ini.
Kenapa sih harga BBM bisa berpengaruh terhadap IHSG?
Harga BBM dapat mempengaruhi pasar modal dalam bentuk capital inflow, likuiditas maupun tingkat pembagian keuntungan. Tentunya harga BBM akan sangat terasa bagi emiten-emiten yang mengandalkan BBM dalam opersionalnya, misalnya? Beberapa contoh sektor yang dipengaruhi oleh harga BBM antara lain transportasi, properti, ritel dan otomotif.
Saham sektoral lainnya yang dipengaruhi oleh harga BBM adalah sektor barang konsumsi (consumer goods). Namun tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi tetap dapat mendorong pertumbuhan industri barang konsumsi. Kenaikan harga BBM juga bisa mempengaruhi sektor yang berkaitan dengan finansial dan leasing juga akan terpengaruh. Sektor perbankan juga ikut mendapatkan dampak dari kenaikan harga BBM lho, kok bisa?
Tingkat kucuran kredit perbankan ke sektor properti, consumer goods dan transportasi bergantung pada BBM. Jika harga BBM naik dan pemerintah tidak punya kebijakan mengontrol harga pangan maka akan terjadi inflasi.Jika inflasi terjadi akibat dari kenaikan harga BBM maka Bank Indonesia bisa menaikkan suku bunga acuan yang berdampak pada perbankan.
Kenaikan harga BBM juga dirasakan dampaknya oleh salah 1 emiten bidang otomatif misal PT. Astra Internasional Tbk. (ASII). Biasanya IHSG hanya akan mengalami “shock” sementara dari dampak kenaikan BBM.
Sentimen pasar yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM biasanya terjadi dalam jangka pendek, sekitar 1-2 bulanan. Tidak selalu kenaikan harga BBM berdampak negatif untuk IHSG, seperti akhir tahun lalu BBM naik justru pasar merespon positif, kok bisa? Investor tetap menyukai iklim bisnis di Indonesia walaupun harga BBM naik, karena mereka tetap melihat fundamental perusahaan.
Selain itu jika dana hasil pengurangan subsidi BBM bisa dialihkan ke sektor infrastruktur dengan maksimal maka bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.Kepercayaan investor akan pertumbuhan ekonomi jangka panjang lah yang bisa membuat IHSG positif walaupun harga BBM naik.
Tahun lalu pasar merespon positif kenaikan BBM karena Bank Indonesia tidak menaikkan BI Rate dan indeks saham Dow jones terus naik pada saat itu. Aliran dana investor asing bisa menutup penurunan kinerja operasional perusahaan karena kenaikan harga BBM. Sebuah informasi baik internal maupun eksternal pasti akan selalu menimbulkan reaksi pasar termasuk harga BBM, dan itu hal yang wajar.
Lalu, apakah koreksi ini bisa terus berlanjut?
Belum tentu. Dalam jangka pendek, koreksi ini masih berpotensi terjadi, seiring rilis data inflasi Amerika yang akan dirilis pada hari Kamis ini. Namun, jika pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM tersebut, maka IHSG bisa kembali bergerak menguat.
Ingin tahu rekomendasi sahamnya? Anda bisa simak di www.PremiumAccess.id/web dan pelajari cara trading melalui workshop Super Performance Trader. Jangan tunggu rugi besar baru mau belajar. Investasikan uang Anda dengan bijak, supaya uang itu bisa beranak lebih banyak lagi, dengan ikuti workshop Super Performance Trader dan daftar melalui www.supertrader.id
Salam profit,
Ellen May Institute